Merenungkan, Allah Maha Pemberi Rejeki

Merenungkan, Allah Maha Pemberi Rejeki,Kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rejeki. Rejeki sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan berbagai nikmat rejeki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah.

Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rejeki).

Allah Satu-Satunya Pemberi Rejeki

Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi rejeki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rejeki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)


“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rejeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)

Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam memberi rejeki. Oleh karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah, tidak pantas Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat Fathir, Allah Ta’ala berfirman,


“Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)

Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rejeki. Allah Ta’ala berfirman,


“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rejeki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)

Seandainya Allah menahan rejeki manusia, maka tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rejeki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Itu memang benar, tidak mungkin ada yang dapat memberikan makan dan minum ketika Allah menahan rejeki tersebut.

Allah Memberi Rejeki Tanpa Ada Kesulitan

Allah memberi rejeki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rejeki dan sama sekali tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,


“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta segala kebutuhan pada-Nya.”[1]

Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah, tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rejeki yang tak terhingga, yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]

Allah Menjadikan Kaya dan Miskin dengan Adil

Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rejeki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rejeki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,


“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rejeki.” (QS. An Nahl: 71)

Dalam ayat lain disebutkan,

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)

Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliaurahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]

Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman Allah,


“Dan jikalau Allah melapangkan rejeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Beliau rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rejeki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”

Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi rejeki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]

Dalam sebuah hadits disebutkan,

“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.

Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rejeki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rejeki. Jadi rejeki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,

“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rejeki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)

Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni orang-orang kafir diberi rejeki di dunia, di akherat mereka akan sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,

“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)

Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan,

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)

Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan. Semoga kita bisa merenungkan hal ini.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rejeki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rejeki, ia merasa bahwa Allah menghinakannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rejeki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rejeki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rejeki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]

–bersambung insya Allah–

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/479

[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.

[5]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.

by Sofyan on Nov.26, 2010, under Umum

sumber : anginsegar.com

semoga ulasan artikel diatas membawa manfaat buat anda.allah maha pemberi rejeki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar