Kabupaten Wajo adalah salah
satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Di
sekitar tahun 1450 di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang
dinamai Kerajaan
Wajo sebagai kelanjutan dari Dinasti Cinnatobi, rajanya
disebut Arung Matowa Wajo dan rakyatnya disebut To
Wajo.
Di akhir pertengahan kedua Abad ke XVI sampai awal pertengahan pertama
Abad XVII, Kerajaan Wajo dipimpin oleh seorang raja yang dikenal amat
bijaksana dan meninggalkan banyak pesan sebagaimana tercatat dalam
Lontaraq. Arung Matowa Wajo yang penulis maksud adalah Matinroe ri
Kannana, yang pernah ‘diselamatkan’ oleh Dr. B. F. Matthes dalam
“Makassar Chrestomathie” yang terbit dan dicetak di Amsterdam, tahun
1860.
Nama sebenarnya La Mungkace
To Uddamang, adalah Arung Matowa Wajo XI. Di masa kekuasaannya, turut
terlibat dalam pembentukan ‘triple alliance’ antara Bone Soppeng dan
Wajo, suatu persekutuan tiga kerajaan bugis dalam mengantisipasi
serangan militer Kerajaan Gowa. Persekutuan Bone, Soppeng dan Wajo
tersebut lebih masyhur dengan sebutan “Tellumpocoe” atau biasa juga
disebut “Lamumpatue ri Timurung”. Setelah wafat, beliau mendapat gelar
anumerta, “Matinroe ri Kannana”, yang artinya yang wafat bersama dengan
perisainya.
Pesan
Arung Matowa Wajo La Mungkace’ To Uddama tersebut adalah
sebagai berikut :
“Nakana Arung
Matowa nikanaya Matinroa ri Kannana, Pappasanna ri ana’na : Iapa antu
Patuppu batu makaappakabaji’ bu’ta, amballakiai nawa – nawa appaka.
Se’remi, malambusuka ; naia nikanaya malambusu’, nikasalaia
namammopporo’. Makaruana, mangngasenga, iapa nikana mangngaseng,
ancinikai bokona, Makatalluna, barania. Iapa nikana barani,
tata’bangkaya nawa – nawana nabattui kana – kana makodi, kana – kana
mabaji’. Makaappa’na, malammoroka ; iapa nikana malammoro’, mapainunga
riallo ribangngi”.
“Berkata Arung
Matowa, yang bernama Matinroa ri Kannana, amanatnya kepada anaknya,
“Seseorang baru dapat dinamai ‘patuppu batu’, jika dapat memperbaiki
tanah (Negara), sekiranya ia memiliki keempat pikiran ini. Pertama,
lurus hati. Adapun yang dikatakan lurus hati yaitu kalau orang
bersalah kepadanya dan diampuninya. Kedua, Berpengetahuan, yaitu yang
melihat (memperhatikan) belakangnya (akibat perbuatannya). Ketiga,
Berani, yaitu sekiranya tidak terkejut hatinya didatangi (mendengar)
kata – kata buruk dan kata – kata baik. Keempat, Pemurah , yaitu
sekiranya memberi minum siang dan malam”.
“Kaiapa nikana
patuppu batu, tatintoa matanna riallo ribangi a’nawanawai. Napunna uru
appanaung taua bine, a’barataki sampulu bangngi. Makaruanna, punna
uruma’rappo asenta a’barataki salapang bangngi. Iapa antu patuppu
batu, taenaya makodi bonena balla’na.”
“Seorang dapat
dinamai “pattuppu batu”, sekiranya ia tak tidur matanya siang dan malam
memikirkan rakyatnya dan kalau orang mulai menurunkan tanaman padi
(mulai bertanam padi), ia berkabung sepuluh hari ; yang kedua kalau padi
kita mulai berbuah kita berkabunglah Sembilan malam. Seorang dinamai
pattuppu batu, sekiranya seisi rumahnya tak ada yang jahat”.
“Naia antu nawa –
nawaya patambuangngangi arena. Uru – uruna, nawa – nawa pepe’
arena. Makaruanna nawa – nawa dje’ne arena. Makatallunna, nawa – nawa
anging arena. Makappa’na, nawa – nawa butta arena. Naia nawa – nawa
pepeka, lompoi gau’na, natanacinika bokona, teai nusauru’
risangkammanna, iamami angkana kalengna annaba gau’na, annaba
tangara’na, la’bu nawa – nawanna, barani. Naia nawa – nawa je’neka,
angngassengi, natamalambusa. Naia antu nawa – nawa anginga a’gau
magassingi natania lambusu’ nakimbolong. Naia antu nawa – nawa buttaya,
lambusuki namangngaseng.”
“Adapun
pikiran itu ada empat jenisnya. Pertama, pikiran api namanya ; kedua,
pikiran air namanya ; ketiga, pikiran angin namanya, keempat, pikiran
tanah namanya. Adapun pikiran api itu, besar perbuatan kelakuannya akan
tetapi tak diperhatikan akan akibat – akibatnya ; ia tak sudi dialahkan
oleh sesamanya ; hanya dialah menurut pendapatnya, yang benar perbuatan
dan kelakuannya, yang benar pikirannya, yang panjang akalnya dan yang
berani. Adapun pikiran air itu, berpengetahuan, akan tetapi tak lurus
hati. Adapun pikiran angin itu, berbuat dengan kekerasan (dengan
sekehendak hati), akan tetapi tidak dengan maksud lurus (baik). Adapun
pikiran tanah itu lurus hati dan berpengetahuan.”
“Talomo – lomo
sikaliai antu bicaraya nikabangngoi. Napunna nia’ nisala bicaraya,
tappu’ korro’-korroki tuma’bicaraya ; mapanraki buttaya ; tattompangi
assunna, nipasai pa’dinginnna, nipasoloro’ alunna, natimboi ruku’ –
ruku’ pallunna ; puttai tawa ; akanrei pepe’ pa’rasanganga ; tammanakkai
tawa ; mammongi tedonga ; tapoleni tinananga, lelasaki rappo rappo kayu
nilamunga”.
“Adapun
‘Bicara’ (Peraturan) itu tak boleh sekali – kali orang bodoh
terhadapnya, artinya tidak memahaminya. Kalau peraturan itu salah
dijalankan, orang yang menjalankannya itu harus putus kerongkongannya
(disembelih sampai mati), negeri akan rusaK, lesungnya tertelungkup,
nyirunya tergantung, alunya tersimpan (menandakan bahwa tak ada yang
akan ditumbuk, karena padi tak tumbuh dan tak berbuah). Dapurnya
ditumbuhi rumput – rumputan (menandakan bahwa orang tak pernah lagi
memasak pada dapur tersebut, karena tak ada lagi yang dapat dimasak).
Manusia akan punah ; negeri akan dimakan (dimusnahkan) oleh api ; orang –
orang (penduduk) tak akan beranak ; kerbau menjadi mandul (tak dapat
berkembang biak) ; tanaman tidak menjadi pohon ; pohon – pohon yang
ditanam gugur buahnya (berarti tak dapat mendatangkan hasil).”
“Napunna nitaba
tappu’na bicaraya, anjari tinananga, lab’bu umuru’na tuma’bicaraya ;
anjari tau jaia, kalumannyangi tu-mapa’rasanganga ; napunna anjari asea
tuju taunna, rassi irawa irate karaeng ma’gauka ; napunna ta’bangkang
anjari asea a’lonjo – lonjo sampulo taunna, rassi iratei – irawa
tuappa’rasanganga ; napunna appaenten bundu’ tumalompoa, longgangi nileo
talluntaung. ”
“Dan kalau
kita “mengena putusan peraturan” (menjalankan peraturan sebagaimana
mestinya), maka tanaman akan menjadi, orang yang menjalankan
pemerintahan akan panjang umurnya ; orang banyak (rakyat) akan bertambah
banyak ; penduduk akan menjadi kaya. Dan kalau padi menjadi dalam masa
tujuh tahun, maka raja yang bertakhta itu akan penuh dibawah dan diatas
(akan beroleh penuh kesejahteraan dan keselamatan). Dan kalau tiba –
tiba padi menjadi baik dalam masa sepuluh tahun berturut – turut, maka
rakyat akan menemui kesejahteraan dan keselamatan yang sepenuhnya. Dan
sekiranya pembesar – pembesar mengadakan perang, dapat leluasa dikepung
tiga tahun (artinya walaupun negerinya dikepung tiga tahun lamanya,
dapat juga mereka hidup dengan leluasa, tidak mengalami kesukaran apa –
apa).”
——————————————–
Kata – kata Sulit :
- Kanna
: merupakan kata bugis tua, dalam bahasa Bugis sekarang
disebut kaliao, yang artinya perisai.
- Tuppu,
attuppu (mattuppu), artinya bertekan dengan kaki.
Attuppu-batu, bertekan dengan kaki diatas batu, berdiri diatas batu ;
kata ini dikiaskan kepada raja yang dinobatkan karena pada waktu itu ia
dinobatkan, ia berdiri diatas “batu pelantikan”. Pattuppu batu,
dikiaskan kepada raja yang telah dinobatkan dan sedang dalam
pemerintahan.
- Ancini
bokona, artinya melihat belakangnya, memperlihatkan suasana
yang akan datang di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar